Fajar itu tak datang, hanya bayu yang selalu membiru tak berhalang. Tak seperti biasa, lelah dan kantuk sama sekali tak terasa kala kaki tak enggan menuruni tangga demi tangga bukit itu.
Sejenak kami beristirahat, di pos yang saat jangkrik masih bernyanyi dipergunakan sebagai loket pembayaran restribusi.
Fafa, Adrie, dan Zuhdy begitu lama memeluk pagi di bukit yang tinggi. Sedang aku dan Rahma telah menunggu di bawah, mencumbu pagi dengan kopi yang membuatnya mewangi.
Baca Juga: Puisi Fajar Punthuk Setumbu
Kami pun berkumpul, kembali memulai diskusi tentang arah terbaik yang akan kami tempuh pagi itu. Tentu ini diskusi klasik, diskusi yang selalu kurindu batang hidungnya, diskusi yang tak pernah kutemui di Bali, di kantor, dan di rumah yang lain.
Dan memang benar, diskusi ini selalu saja melahirkan kesepakatan yang klasik. Kesepakatan yang sebenarnya sangat tak memerlukan diskusi, oleh atas rasa yang telah manunggal di antara kami semua. Kesepakatan itu berkata: “Mangan yuh, wis luwe tenan aku,” “Lha mangan opo?,” dan lain sebagainya.
Pagi semakin terik, sedang Fafa terlihat sangat kacau dengan perasaan lapar yang hampir membuatnya gila. Roda pun berputar kencang, membawa kami pada Sate Klathak Pak Pong di Bantul yang sebenarnya tidak masuk akal untuk kondisi perut yang selapar itu.
Baca Juga: Desa Sembalun Dan Angka Tujuh
Bagaimana tidak? Terlihat di GPS, untuk menempuh perjalanan menuju Kabupaten Bantul dibutuhkan waktu kurang lebih hampir dua jam. Belum lagi ditambah kemacetan yang sebenarnya sudah kami ketahui sebelumnya. Kemungkinan tiba di tujuan bisa memakan waktu sekitar dua hingga tiga jam. Luar biasa, bukan? Selalu saja kegilaan semacam ini yang tak henti – hentinya kurindukan.
Lihatlah, Zuhdy begitu mesra bercinta dengan ketidurannya di kursi paling belakang sesaat sebelum perjalanan memasuki masa yang panjang. Adrie terdiam, bercanda dalam hati melihat jalanan yang padat merayap. Rahma pun tak mau ketinggalan, sibuk dengan diri untuk terlelap sebentar saja. Namun sepertinya terang enggan bersahabat dengan rasa kantuk. Sedang Fafa, ia justru begitu asik menggoyangkan kepala oleh alunan musik yang sama sekali tak kami kenali.
Baca Juga: Makrifat Mangku Sakti Di Kaki Rinjani
Tak terasa, tiga jam sudah kami bergelut dengan aspal, bercinta dengan kepayahan, dan lapar itu begitu riang berdansa dengan kekantukan.
Tiba juga kami di Sate Klathak Pak Pong dengan lelah yang luar biasa hebat, saat terik menghantam dengan begitu galaknya. “Ah akhirnya makan juga,” itulah yang terucap dalam benak kami masing – masing. Potong demi potong daging kambing muda itu terlepas dari jeruji yang menusuknya saat terbakar, bercampur dengan bumbu yang katanya hanya secubit garam.
Nikmat memang, mengingat proses pemanggangan daging yang ditusuk jeruji itu membuatnya matang hingga ke semua bagian.
Baca Juga: Lawang Sewu Lebih Berharrga Dari Cerita Hantu
Beberapa dari kami tertidur usai santapan itu, tepat di lantai lesehan yang sejuk melawan panas udara Bantul di kala siang.
Diskusi kembali dimulai. Tentu aku tak ingin waktu yang sebentar itu hanya berakhir di warung sate lesehan. Aku ingin menyaksikan jingga memanggil petang di Candi Ratu Boko. Tetapi tak begitu dengan yang lain. Oleh karena waktu yang menipis, kemungkinan untuk tiba di Candi Ratu Boko bisa malam hari. Diskusi itu terbilang alot. Masing – masing mulai bermain smartphone, mencari tau tempat terbaik apa yang dapat kami kunjungi. Hingga muncul satu ide dari google di layar smartphone ku untuk sekedar berkeliling saja di Kabupaten Bantul, tepatnya di Desa Krebet. Ide itu membawaku ke Curug Pulosari, yang waktu itu tak begitu banyak orang tau. Bahkan terbilang sangat asing di telinga kami berlima.
Baca Juga: Inspirasi Lagu Perjalanan
Curug Pulosari berlokasi di Desa Krebet, Sendangsari, Kecamatan Bantul. Perjalanan menuju Curug Pulosari ini tidak terlalu rumit seperti saat harus mencari lokasi kemah di Karang Boma Uluwatu beberapa waktu silam. Cukup tuliskan saja Curug Pulosari di google maps, GPS dengan kecanggihannya akan mengarahkan kalian menuju lokasi air terjun Curug Pulosari. Hanya saja memang terik terlalu sulit dihindarkan jika kemarau sedang dalam puncak kejayaannya.
Baca Juga: Gunung Agung Dan Pura Lempuyang Yang Luhur
Kembali pada cerita perjalanan itu. Beberapa dari kami nampak mulai tak sabar menantikan seperti apa wajah Curug Pulosari itu. Beberapa juga nampak gusar mengingat air terjun selalu saja dilalui dengan tanjakan yang mesti ditempuh dengan berjalan kaki. Tentu ini manusiawi untuk kami yang melewati malam tanpa sedikitpun terlelap. Ah, bahasan tentang Curug Pulosari itu benar – benar memberi warna di dalam mobil yang kami kendarai.
Perjalanan itu kami tempuh dengan waktu yang tak begitu lama, empat puluh lima menit ditambah dengan kemacetan yang kini telah menyapa Bantul. Tentunya dengan Fafa yang tak lagi cepat mengendarai.
Baca Juga: Senja Ria Di Taman Pembaca
Kantuk yang luar biasa itu terbakar seketika mobil terparkir di atas kerikil panas. Gerbang Curug Pulosari ini benar – benar kering disertai panas yang mengganas. Batuan padas membuatnya semakin kerontang, tumbuhan pun terlihat enggan menunjukkan rimbunnya seperti yang biasa kujumpai di Bukit Kintamani atau Sembalun yang asri.
Namun ada satu hal yang membuat Curug Pulosari begitu ramah dalam penyambutan. Penduduk sekitar begitu murah menawarkan senyumnya, begitu khas seperti oase di tengah savana yang luas. Sandal jepit, toilet, hingga air mineral mereka tawarkan tanpa pungutan biaya sepeserpun. Sungguh, pemandangan ini tak pernah kutemui lagi sejak beberapa tahun terakhir menghabiskan penat di Bali yang mungkin lebih banyak tergeser arus modernisasi.
Baca Juga: Hadir Utuh Sadar Penuh Dalam Perjalanan
Lalu kamipun turun, melanjutkan perjalanan dengan tapak kaki yang mesra memeluk bumi. Bumi yang kering dengan kerikil – kerikilnya yang tajam. Tapi tunggu, beberapa menit kami berjalan, sungai yang jernih di pinggiran tampak melambaikan tangan seraya mengucap selamat datang. Juga jembatan – jembatan yang begitu alami dibuat dari batang bambu yang ikhlas menyerahkan hidupnya untuk kami tapaki. Panjang perjalanan itu tak lagi kami rasa lelahnya sesaat nyanyian gemericik air berjatuhan begitu menyejukkan. Sedikit potongan video juga diunggah Adrie ke dalam akun instagramnya, klik di sini
Ah, akhirnya kami tiba juga. Pemandangan ini begitu menakjubkan, sangat menakjubkan. Belum pernah sebelumnya kutemui air terjun macam Curug Pulosari seperti ini. Gemericiknya begitu tenang dengan airnya yang sangat jernih. Air pun nampak berwarna hijau seperti menyatu dengan rindang pepohonan di sekitar. Sungguh alam yang manunggal.
Baca Juga: Senja Untukmu, Kekasihku
Tak sabar, kamipun sengaja bertelanjang karena memang tak ada satupun selain kami kecuali bocah – bocah berseragam SD yang nampaknya sedang merayakan hari bolosnya. Satu persatu kami melompat, bermain bersama alam, dan terkadang tertunduk diam menghayati nyanyiannya yang begitu indah.
Oh syukur ini begitu besar kami panjatkan di tengah terik siang itu. Di saat kota begitu kotor dengan polusi dan pembangunan yang tiada henti, Tuhan masih menyisakan sebagian cinta alam di Curug Pulosari.
2 Comments
Dita Arina
Juni 8, 2018 at 1:25 PMadeem tapi kok ya gak bisa renang haduh dilema bener antara pengen wisata ke tempat yang banyak airnya tp gegara gak bisa renang nggak jadi
Gilang Kayana
Januari 14, 2019 at 6:21 PMHai Dita, di sini ga harus berenang kok. Suara percikan airnya cukup meneduhkan 🙂
Pantai Klayar Pacitan: Seruling Samudera Dan Juga Arena ATV
Januari 24, 2023 at 12:36 PM[…] Baca Juga: Merayakan Persahabatan Di Curug Pulosari […]