“Langkahku tak mengenal jauh, ataupun dekat. Ia selalu berjalan seturut Cinta memanggilnya.”
Pagi ini benar – benar tak mampu ku mengerti. Tak henti – henti ia bercanda dengan hati yang tenang, singgah di dalam tubuh yang enggan melangkah.
Langit sembilan wita mendung, tak kulihatnya lagi burung – burung gereja bermain bercanda lucu di depan teras kamar.
“Aku tak kemana – mana,” ucapku lirih dalam kepala.
Angin di dalam terhembus kencang, membawa sisa – sisa bayangan tanah luhur di ujung timur Bali tercinta. Ada rindu yang memanggilku untuk singgah kembali di Karangasem, setelah sekian lama tak lagi kuhabiskan setiap akhir pekan bersama topeng – topeng karya Pak Mangku.
Terlalu banyak yang terkenang di timur sana. Kearifan, kelembutan, budaya, dan spiritual yang melekat di jantung masyarakat Karangasem tak sedikitpun dapat terlupakan.
Baca Juga: Gunung Agung Mengajari Makna Sebuah Perjalanan
Perjalanan kali ini membawa seluruh jiwa raga menaiki bukit tinggi di lereng Gunung Agung, tepatnya di Pura Lempuyang Luhur. Kemegahannya berdiri tegak 1,175 meter di atas permukaan samudera.
Bukan, bukannya aku hendak sembahyang di sini meski hari memasuki masa purnama yang pantas diperingati. Aku hanya sedang memadu rindu dengan tanah yang luhur.
Soal cerita Pura Lempuyang Luhur sendiri aku tak begitu mengerti hingga saat ini.
Terlalu banyak perbedaan pendapat di tengah masyarakat tentang Pura Lempuyang Luhur. Tapi alih – alih berseisih, mereka tetap dengan tulus memanjatkan Cinta bersama, menaiki 1,700 buah anak tangga dengan bahagia.
Satu yang menjadi keyakinan besar umat Hindhu Bali, di Pura ini singgahlah Batara Hyang Gni Jaya yang dipercaya sangat setia menjaga kemaslahatan hidup masyarakat di bagian timur Bali.
Baca Juga: Bersenja Gurau Di Taman Baca Kesiman
Tiba di titik awal memasuki area Pura Lempuyang Luhur, hijau lestari persawahan menyambut dengan asri. Gunung Agung juga megah berdiri menyerahkan diri untuk dinikmati.
“Andai saja kabut tidak ribut,” keluhku yang tak mampu memuaskan birahi mata dan hati yang begitu memberatkan langkah menaiki setiap tangga menaiki Pura.
Tapi keluh itu hanya sebentar saja, aku kembali teringat ucap Pak Mangku yang lembut bertutur tentang pantangan mengeluh di Pura Lempuyang Luhur. Telah terkabar begitu banyak peristiwa yang sulit disyukuri akibat keluhan – keluhan yang terucap di Pura ini.
Hingga pada Pura pertama yaitu Pura Penataran, mendung yang tadi menggantung kini menjadi terang yang menggantang. Tengkorak terasa seperti retak, begitu kata suku barbar.
Kulihat orang – orang berbusana adat serba putih tetap teguh pada perjalanannya menuju Pura tertinggi, yang perjalanannya bisa mencapai tiga jam berjalan kaki pada anak tangga.
Sedang aku, mencapai Pura Penataran saja merupakan suatu kebanggaan tersendiri.
“Tak apalah, lagipula perjalananku pulang ke Kuta masih harus memakan waktu yang panjang,” ucapku membela diri.
Baca Juga: Sepotong Senja Bercinta Di Kuta
Dari atas sini, Karangasem terlihat menyuguhkan pemandangan yang spiritualis. Gunung Agung begitu agung kulihat bertahta berhadapan dengan Pura Lempuyang Luhur.
Wajahnya begitu bijaksana dan tak sedikitpun kurasa ada keriput kusut di tubuhnya. Yang ada hanya Cinta pada semesta, dan pada jutaan manusia yang dipeluk hangat oleh megah tubuhnya dari terpaan badai utara.
Benar – benar agung..
Sepatah dua patah batin kata kuucap sore itu, pada keagungan yang kuyakini juga memiliki rasa. Kupanjatkan puja dan suksma atas Cinta dan pengabdian pada semesta yang tak pernah sekalipun menuntut balas jasa.
Tak sama memang dengan apa yang pernah tertutur oleh mas Is Payung Teduh dalam lagunya.
“Tak perlu tertawa atau menangis pada Gunung dan Laut
Karena Gunung dan Laut tak punya rasa”
Payung Teduh – Cerita Tentang Gunung Dan Laut
Tak banyak lagi rasa yang mampu kutuliskan dengan kata. Untuk berkata “menakjubkan” atas perjalan ini, sepertinya tak pantas. Ada sesuatu yang lebih ilahi dari sekedar “menakjubkan” atau “sangat menakjubkan”.
Terimakasih Karangasem dan sejuta Cinta di dalamnya.
Om Santhi Santhi Santhi..
7 Comments
Adi Bali
Oktober 1, 2017 at 7:04 PMIni pura yang sudah lama ingin saya kunjungi tapi sampe sekarang belum kesampaian. Konon harus menyiapkan fisik prima ya untuk bisa sampai ke pura ini? Mungkin itu yang membuat saya selalu punya alasan untuk mengurungkan niat kesana.
folkandtravel.com
Oktober 2, 2017 at 3:18 PMFisik prima mungkin lebih menjadi kebutuhan sekunder, bli Adi. Yang terutama hati yang tulus untuk memanjatkan Cinta pada Sang Hyang Widhi Wasa hehehehe
Akarui Cha
Oktober 4, 2017 at 9:38 AMDeep-nya.
Fotonya bagus bagus. Ini kalo disuruh mendaki anak tangga ke Pura Lempuyang Luhur sepertinya aku bakal ngos ngosan.
folkandtravel.com
Oktober 6, 2017 at 3:04 PMMesti bawa tabung gas kali ya hahahaha, eh tabung oksigen
Indri Juwono
Oktober 6, 2017 at 2:17 PMgunung ini cantik dipandang dari jauh, melihatnya sore dari sanur, lalu tetiba mendengar suara ia bergolak di dalam.
hati-hati di bali..
folkandtravel.com
Oktober 6, 2017 at 3:05 PMSangat cantik, selalu terlihat muda dan segar..
Dumogi Bali Santhi
Travel Bali Surabaya
Desember 19, 2018 at 12:42 PMAfter reading the reviews I was a bit skeptical… but the ride from Ubud, the money ( you do pay for everything) and the wait in line (ours was less than 20 mins) were worth these amazing photos. Yes, there is a bit of camera trickery but you give your phone to the official temple photographer and he delivers amazing shots… and he helps keep the line moving. I almost didn’t go and I am so glad I did!!