Explore Lombok Folk Indonesia Folk Travel Lombok

Tujuh Dan Desa Sembalun

Sejarah Desa Sembalun

Hingar bingar ketakutan masyarakat atas liarnya kebohongan yang marak di luar Pulau Bali tentang menakutkannya Gunung Agung, telah berhasil membawa jiwa ku terbang melayang lebih ke seberang, ke timur lagi. Gunung Rinjani, dan Desa Sembalun yang riang berdongeng atas legenda dan sejarah.

Tulisan ini tak akan banyak bicara tentang ketinggian Gunung Rinjani, bukan pula tentang indahnya Segara Anak yang selalu saja mampu meredam peluh pada hati, apalagi pembicaraan tentang para pendaki.

Sembalun

Baca Juga: Berkemah Di Tebing Uluwatu Bali

 

Penghujung tahun pernah menjadi masaku untuk Indonesia timur. Begitu banyak Cinta dan Cita yang terukir di tanah yang sedikit terlupakan.
Desa Sembalun di Lombok Timur, sempat beberapa minggu berdongeng di dalam kepala, sebelum bait – bait dongeng itu kini menjelma menjadi rasa yang diam manunggal di dalam jiwa.

Seorang sahabat menuntun langkah kakiku menuju Bukit Selong, masih di kawasan Sembalun tentunya, meski juga begitu banyak kujumpai desa – desa kecil di bawah luasnya Sembalun.
Tak terlalu jauh dari beranda persinggahannya, hamparan luas persawahan dan perkebunan menyambutku asri, juga bukit – bukit yang terlihat lembut merayu mendayu memintaku menyatu dalam peluknya.
Lalu kulalui juga sunyi hutan bambu yang tak panjang, namun tak sedikitpun melayangkan imajiku pada negeri tirai bambu yang cantik dan berbudaya. Karena mungkin Sembalun terlalu mahal untuk dibanding – bandingkan.

Sembalun

Baca Juga: Seperti Buddha, Hadir Utuh Di Setiap Perjalanan

 

Tak jauh dari hutan bambu, aku menaiki tangga yang tak curam. Tak lebih dari 5 menit saja, hamparan luas nan hijau persawahan berhasil membuatku trenyuh. Sedikit menitikkan air mata kebersyukuran dan cinta atas bukti kasih Gusti yang masih setia pada Indonesia di timur sana.
Beberapa orang mempersilahkanku berfoto, mengabadikan setiap detil cinta kasih nyata semesta pada dunia. Namun alih – alih berfoto, aku justru menghabiskan waktu memetik setiap nada sumbang pada gitar yang kian usang. Karena bernyanyi bersama alam bagiku kemuliaan.

Sembalun

Baca Juga: Di Pacitan Jawa Timur Aku Kembali

 

Beberapa langkah ku kelilingi bukit itu dengan alam yang bersenandung. Ku lihatnya tepat di bawah Bukit Selong berjajar rapi tujuh rumah adat yang terlihat renta.
Terkejut memang aku saat Mas Nurman sahabat yang banyak membantu di Sembalun bertutur tentang rumah adat Desa Beleq, tentang asal usul keberadaannya, dan tentang sejuta dongeng legenda yang berasal darinya.
Ah aku tak mau berlama – lama, seketika cepat kuturuni bukit, tangga demi tangga.
Dan memang benar, rumah adat ini begitu tua. Aku mencium aroma sejarah yang sangat kental di setiap sudut pondasinya.

Sembalun

Baca Juga: Sebait Gelisah Di Pulau Merah

 

Konon, tujuh rumah adat ini adalah cikal bakal tertua dari berdirinya Desa Sembalun.
Di pertengahan abad ke 14, saat suku sasak masih lebih banyak menganut animisme ketimbang Hindu atau Islam sekalipun, Gunung Rinjani dengan gagahnya membumi hanguskan desa yang dulu belum bernama Sembalun ini.
Semua orang pergi, entah manunggal dengan lahar panas atau dingin, atau justru merantau seperti kebanyakan etnis Rohingya di Myanmar.
Semuanya hilang, yang tersisa hanyalah tujuh pasang keluarga tanpa keturunan yang saat itu tak pernah tau bagaimana semestinya ia menjalani hidup.
Keputusan untuk berkembara ke barat dirasa tujuh pasangan ini adalah keputusan yang tepat, meninggalkan Desa Beleq dan mengharap terjadi perubahan di dalam hidup, yaitu tentang keturunan.
Tapi apalah daya sungai besar yang menghadang langkah mereka berkembara.
Keputusan berpihak pada angin yang membawa mereka tetap melangkah mengikuti aliran sungai hingga menemukan aliran yang paling sempit untuk diseberangi.
Saat menemukan aliran yang sempit, serta merta mereka saling topang satu persatu menyeberangi sungai hingga selesai. Lantas ujung sungai itu mereka beri nama Lokok Sangkabira yang dalam bahasa sasak dapat berarti saling tolong atau gotong royong.
Setelah menyeberangi aliran yang sungai, langkah kaki masih mengikut pada hati, mereka menuju ke barat.
Tak jauh dari sungai, mereka kembali mendirikan singgasana yang baru, yang hingga kini orang menyebutnya Bale Malang.

Sembalun

Baca Juga: Bersenja Gurau Di Taman Para Pembaca

 

Orang – orang percaya, cikal bakal Desa Sembalun memang berasal dari ketujuh pasangan yang bertahan ini. Dan uniknya, kelestarian peninggalan bersejarah tentang Sembalun ini masih lestari hingga saat kalian membaca tulisan ini.
Tentang begantinya animisme menjadi Islami sendiri, tak terlalu jelas aku memahami.
Sedikit banyak yang aku tau, ada dua raden dari kerajaan di Jawa datang dan melancarkan dakwah hingga kehidupan ketujuh pasangan ini berubah.
Dua raden ini pula yang menyematkan nama Sembalun di bumi yang asri ini.
Dari tiga orang sasak asli yang kutanyai, jawaban mereka selalu sama; yakni Sembalun berasal dari penggabungan dua kata Sembah dan Ulun.
Di Jawa sendiri sembah berarti patuh, mengabdi, dan atau menyerahkan diri. Sedangkan Ulun berarti pemimpin, dan atau atasan. Dan tentang sebuah makna, demi Sembalun tercinta aku tak sudi mengira – ngira. Biarkan ini menjadi cerita, biar orang yang berasumsi saja.

Sembalun

Baca Juga: Nusantara Yang Terlupakan Di Nusa Tenggara

 

Begitu lama dan panjang orang – orang bertutur tentang Sembalun dan segala kisah yang terpendam di dalam keindahannya. Karena memang Sembalun bukan hanya sekedar desa wisata yang indah dan terlihat menarik saat terpajang di instagram. Terlepas dari itu, sejuta cerita berkadar 24 karat telah menanti kedatangan orang – orang untuk menumbuhkan Cinta di bumi Indonesia timur.

Perjalanan ini mengajariku banyak hal tentang Sembalun dan asal – usul keberadaannya. Memang, perjalanan tak selalu tentang keindahan alam. Ada makna yang tersingkap di balik perjalanan itu sendiri.
Sama seperti halnya yang terucap bijaksana oleh seorang Walter Mitty dalam sebuah film inspiratif berjudul The Secret Life of Walter Mitty:

“To see the world, things dangerous to come to, to see behind walls, draw closer, to find each other, and to feel. That is the purpose of life.”
– Walter Mitty

You Might Also Like

No Comments

    Leave a Reply

    error: Maaf, Konten Dilindungi

    Pin It on Pinterest