Teluk Ijo, satu dari beberapa daftar yang tertulis acak di kertas lusuh sisa nota pembelian rokok. Fajar itu, di Stasiun Purwosari Solo sesaat sebelum keberangkatanku menuju Banyuwangi.
Nama Teluk Ijo tertulis atas usul seorang sahabat yang baru saja kutemui di stasiun. Kebetulan kami akan menuju stasiun yang sama, Stasiun Karangasem. Aldo namanya, seorang penduduk asli Banyuwangi yang tengah hendak sibuk menentukan program studi di Jogja. Ia banyak bertutur tentang alam indah Banyuwangi, Teluk Ijo salah satunya. Mendengar cerita asri tentang Teluk Ijo membuatku tak sabar untuk segera menginjakkan kaki di surga itu. Ia pun menawari untuk mengantarkanku menjelajah Teluk IIjo, namun rupanya waktu belum mengijinkan oleh karena perbedaann jadwal perjalanan kami di Banyuwangi.
Baca Juga: 10 Rekomendasi Lagu Perjalanan
Singkat cerita, siang yang mendung itu kutempuh panjang perjalanan Karangasem – Pesanggaran. Terkadang hujan juga datang dengan perlahan, membelai seluruh tubuhku seperti sapa ikhlas sang alam.
Tak terduga, perjalanan ini begitu panjang. Melewati kota, sawah, pemukiman penduduk, hingga bibir pantai yang begitu lembut dan asri. Sungguh alam yang masih sebenar – benarnya alami, yang terlalu lama sudah tak pernah kucumbui. Tiga jam lebih lamanya roda bergelut dengan aspal dan bebatuan, sebelum pada akhirnya gerbang Taman Nasional Meru Betiri menyambutku dengan hijaunya.
Baca Juga: Hadir Utuh Di Bukit Cemara
Seorang petugas retribusi Taman Meru Betiri mempersilahkanku masuk ke dalam kantornya. Berkenalan dan menjelaskan banyak hal tentang Teluk Ijo. Ia pun juga menawariku 2 pilihan rute untuk menuju Teluk Ijo yang semakin membuatku penasaran itu.
- Rute Melalui Hutan
Rute ini sangat dianjurkan jika kita memiliki banyak waktu sebelum petang. Rute yang dilalui memang sangat ekstrim. Jalan setapak yang curam, bebatuan, bukit dan pepohonan yang besar. Ditambah nyaring deburan ombak besar yang menyapu bebatuan karang. Setelah curam perjalanan itu, kita dipertemukan dengan satu pantai bernama Pantai Batu, pantai yang pernah dihantam tsunami pada tahun 1994. Melalui rute ini mengajarkan seseorang tentang seperti apa perjalanan dan petualangan sesungguhnya.
- Rute Menyeberangi Laut
Rute yang satu ini tak kalah ekstrim dengan rute sebelumnya. Kita akan ditunjukkan jalan menuju pelabuhan yang tak jauh dari lokasi penjualan tiket masuk Taman Nasional Meru Betiri. Setelah memesan tiket penyeberangan, kita dipersilahkan menaiki perahu mesin yang biasa digunakan untuk menangkap ikan. Ombak di samudera menuju Teluk Ijo tak bisa dianggap remeh, berbeda dengan laut yang biasa di seberangi untuk menuju Gili Trawangan, atau Nusa Penida di Bali sekali pun.
Samudera yang luas, tentu mengajarkan kita banyak hal. Di samping menyadari betapa kecilnya kita sebagai manusia, ombak yang deras juga menyadarkan kita betapa manunggal kita dengan semesta sebenarnya.
Baca Juga: Makrifat Mangku Sakti
Aku berkesempatan memilih rute menuju Teluk Ijo dengan menyeberangi laut. Entah, rasaku saat itu selalu saja ingin menari dengan ombak – ombak di luas samudera. Memeluk dan dipeluk alam, bercinta, berteriak, menyanyi, dan berpuisi di tengah gelombang, yang bisa saja kapan pun menunjukkan segala bentuk rasanya. Entah marah, cinta, atau cemburu terhadapku. Dan aku pun berkesempatan menunjukkan segala cinta dan percayaku atas alam yang selalu saja baik terhadapku.
“Aku pernah berjalan di atas laut,
Tak ada tanah,
Tak ada batu,
Air selalu merayu,
Menggodaku masuk ke dalam pelukannya.”
Payung Teduh – Cerita Tentang Gunung Dan Laut
Baca Juga: Puisi Persahabatan Di Fajar Punthuk Setumbu
Seperti hilang, dengan cinta nya gelombang menutup mataku untuk melihat ke dunia yang kelam. Hingga pada satu titik kulihat sebuah teluk yang benar – benar berpendar, dan memancarkan zamrud kehijauan menyala – nyala.
“Itu lho Teluk Ijo, mas,” sahut nelayan yang mengantarku pada rasa itu. Aku pun lebih banyak terdiam, mulutku terlalu terbatas untuk mendeskripsikan keindahan semacam itu.
“Konon menurut nelayan yang sudah mengenal modernisasi tingkat tinggi dan tak lagi mempercayai tenung dan klenik ini, warna hijau yang dipanccarkan Teluk Ijo berasal dari kandungan alga yang terdapat pada dasar perairan dangkal. Sama hal nya dengan Pantai Pink yang dapat ditemui di Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Hanya saja pantai pink lebih memancarkan warna pink kemerahan ketimbang warna hijau seperti di Teluk Ijo.”
Dengan kecepatan yang tak rendah, perahu menerjang daratan pasir Teluk Ijo. Sesegera mungkin kulangkahkan kakiku menyentuh lembut Teluk Ijo itu. Berlarian, berteriak, menyanyi, dan melumuri seluruh tubuhku dengan pasir yang begitu lembut itu.
“Alam ini sangat indah!” berbisik suara yang sama sekali tak tau darimana asalnya, mungkin suara hati itu memang ada, maujud dan menjadi nyata.
Baca Juga: Kebangkitan Nasionalisme Di Bajra Sandhi
Haru biru hatiku kala itu. Seperti kembali pada kebocahan yang selalu saja mensyukuri keheranan. Beremosi tanpa harus ada alasan. Menangis untuk tangis, tertawa untuk tawa, dan bahagia untuk kebahagiaan.
Berlarian kesana kemari, kutemui sebuah air terjun kecil yang sangat jernih. Tanpa ragu kubasahi mulut dan kerongkongan dari air cinta Teluk Ijo, begitulah aku menyebutnya. Air yang berjatuhan pun terlihat begitu mesra menyentuh pasir, sebelum akhirnya menuju bibir laut untuk menjadi seutuhnya manunggal bersama alam. Ah penyatuan itu.. Sedikit banyak mengingatkanku pada kemakrifatan Siti Djenar, Mansur Al Hallaj, dan Rumi yang hingga kini cintanya masih jadi misteri.
Baca Juga: Kembali Dari Kehilangan
Tak banyak yang dapat kulakukan di Teluk Ijo kecuali mengolah rasa. Beberapa jam kuhabiskan waktuku untuk diam, sadar penuh dan hadir utuh untuk Teluk Ijo yang surgawi, sebelum nantinya senja menjemputku untuk segera pulang ke kota. Kembali pada kehidupan bermasyarakat yang kaku dan lucu.
Senja pun tak kunjung datang, tak pula kulihatnya hilang. Atau mungkin senja yang di sini yang telah dicuri Seno Gumira Ajidarma dalam bukunya yang melankolia. Ah entahlah, aku hadir utuh untuk Teluk Ijo, sadar penuh untuk Teluk Ijo. Hadirku dan sadarku untuk Teluk Ijo, bukan senja, pulang, kota, atau Seno Gumira Ajidarma.
8 Comments
venita
Februari 14, 2018 at 12:19 PMKeren banget kak, mau kesana huhu. Nice article. 👌
Gilang Kayana
Februari 14, 2018 at 3:12 PMHarus disempetin mba main ke Teluk Ijo, apalagi pacarnya baru kan? Dirayain lah di Teluk Ijo ehehe
ayahblogger
Februari 15, 2018 at 10:39 AMtampaknya asyik nih ke Teluk Ijo. Apalagi kalau tempatnya ndak begitu rame
Gilang Kayana
Februari 15, 2018 at 5:23 PMPasti asik gan hehehe, ga begitu rame dan pastinya sangat alami. Kalo beruntung masih bisa ketemu monyet – monyet di Teluk Ijo hehehe
Rivai H
Februari 17, 2018 at 12:18 PMSepertinya seru juga kalo lewat jalur hutan mas. Apalagi masuk dalam kawasan TN, hutannya pasti masih terjaga dg baik. Pantainya sepi, serasa pantai pribadi 😀
Gilang Kayana
Februari 17, 2018 at 2:07 PMPastinya mas Rivai. Menurut pengalaman beberapa temen yang sudah menjajal rute itu, kedengarannya seru dan patut dicoba lain waktu hehehe
Ula
Desember 6, 2018 at 2:52 AMHmmm mesti disamperin tuh tempat, sayang klo dianggurin. Cus bikin community gt buat explore Indonesia, saya daftar yak?!
Gilang Kayana
Januari 14, 2019 at 6:22 PMHehehe kan mbaknya sudah ada komunitas, sudah jalan – jalan ke luar lagi
Bertenang Diri di Air Terjun Banyumala Desa Wanagiri Singaraja
Agustus 5, 2020 at 1:56 PM[…] Baca Juga: Cinta di Green Bay […]