Folk Indonesia Folk Story Folk Travel Lombok

Ada Indonesia Di Sana

Folk Travel Tales Indonesia

“Hujan pegunungan itu biasa, sebentar lagi juga reda,” celetuk enteng sahabatku Zuhdi, di saat gelap hutan dan deras hujan berbadai mewarnai perjalanan kami dari Kintamani menuju Badung kala itu. Mungkin pemuda satu ini sesekali harus merasakan kerasnya hujan es di pegunungan Rinjani.

 

Baca Juga: Hadir Utuh Dalam Perjalanan

 

Semalam sudah aku bercinta bersama dingin bumi Sembalun. Dengan pesangon beberapa ikat bawang bagong dan juga buah strawberry segar aku pamit kembali ke Mataram.

Kabut tipis dan awan yang perlahan menghitam mengiring langkahku membelah hutan yang sangat panjang. Rintik hujan yang lembut tak begitu menghalangi perjalananku sesaat aku teringat kalimat Zuhdi tentang hujan di pegunungan. “Paling juga sebentar lagi reda,” kataku menguatkan diri.

Tanjakan dan turunan yang curam serta kelokan yang sangat tajam sempat beberapa kali membahayakanku, di saat hujan yang lembut telah berubah menjadi kian mengganas sempat menghalangi pandanganku. Penutup wajah yang terpasang pada helm pun terasa tidak begitu membantu.

Bukan hanya itu. Air yang tadinya lembut kini mulai terasa keras membatu. Kiri kanan tak jarang membuatku menggelengkan kepala seperti boneka anjing yang biasa terpasang pada dashboard mobil, berharap gubuk atau rumah menyelamatkan tubuhku dari dahsyatnya terjangan es batu.

 

Hujan Sembalun

Baca Juga: Ijinkan Aku Pulang

 

60 menit sudah menjelajah meresapi sensasi pijat alami. Di turunan yang curam ku lihat berdiri sebuah bangunan, beberapa lembar anyaman bambu yang dibentuk sedemikian rupa, hingga membuatnya terlihat seperti rumah separuh dinding. Girang, layaknya rakyat yang berhasil melengserkan kepemimpinan diktator Soeharto kala itu.

Memasuki ruang itu, aku melihat beberapa peralatan masak seperti wajan, panci, dan beberapa piring tertata rapi di atas potongan bambu yang terpaku. Tak ada satupun orang saat itu untuk kuucapkan permisi, hingga akhirnya seorang nenek berwajah keriput lengkap dengan busana yang sering masyarakat Lombok kenakan (baca: kerudung dan daster) muncul dari sisi ruangan yang lain.

Permisiku tak terjawab, tangan yang seraya memberi salam pun dijawabnya dengan salam syar’i. Ah tak perlu berpikiran aneh – aneh, mungkin nenek ini memang seorang muslim yang taat meski daster tak menutup seluruh auratnya.

Melihat ia mengumpulkan beberapa potong kayu dari gudang penyimpanan, kucoba sedikit basa – basi bertanya tentang tempat apa sebenarnya ini, dan jawaban sama sekali tak terdengar dari bibirnya yang gelap.

Aneh memang, perasaan kian bercampur aduk di saat jari telunjuk mengarah tepat ke wajahku dan seraya melambaikan tangan memintaku mendekat pada kayu yang telah ia bakar di dalam tungku. Mendekatkan seluruh tubuh pada perapian, ia terlihat tersenyum dan menganggukkan kepalanya menatapku seraya ingin aku melakukan hal yang sama; menghangatkan badan.

Hujan Sembalun

Baca Juga: Pacitan Aku Kembali

 

Huh! Suasana yang menegangkan sontak pecah seketika. Tawaku begitu lebar, begitupun si nenek berkerudung itu, hingga akhirnya aku tau betapa tulus niat suci nenek untuk pejalan yang kedinginan di tengah hutan sepertiku. Keterbatasannya untuk berkata – kata, entah mungkin ia tak berbahasa Indonesia, atau memang keinginan Tuhan melahirkannya dengan kondisi yang berbeda, tak sedikitpun melunturkan cinta kasih nya. Tentu bukan sebuah pemandangan yang wajar mengingat aku adalah pendatang yang kebetulan lewat dengan bahasa yang mungkin ia tak mengerti.

Kepedulian nya sangat mencerminkan budaya Indonesia yang pernah aku dengar dari cerita orang – orang sepuh di sekelilingku. Indonesia yang welas asih, Indonesia yang peduli, Indonesia yang tak gentar berbuat kebajikan kepada siapapun.

 

Baca Juga: Makrifat Mangku Sakti

 

Sungguh pengalaman yang sangat berharga bagiku dapat menjadi saksi keramahan Indonesia yang ternyata masih ada di timur sana. Setelah sekian lama aku tinggal di kota yang aku rasa angkuh, acuh, dan jauh dari welas asih.

Sudah semestinya masyarakat kembali pada jati diri bangsa yang sebenarnya. Keangkuhan kota tidak sebaiknya menjadi pemandangan yang wajar. Aku rasa orang – orang perlu berjalan sebentar, belajar Indonesia di timur sana.

You Might Also Like

6 Comments

  • Reply
    leonard anthony
    Agustus 31, 2017 at 9:43 AM

    Saya selalu suka berinteraksi dengan penduduk lokal yang masih tulus, tdk pamrih. Yg memandang semua manusia adalah sama.

    • Reply
      folkandtravel.com
      Agustus 31, 2017 at 10:34 AM

      Sudah menjadi seperti ritual wajib bro Leo. Singgah sejenak dan bercakap – cakap dengan penduduk lokal yang jujur dan masih bernurani hehehe

  • Reply
    Sinyo
    September 2, 2017 at 1:08 AM

    kearifan lokal selalu aku rasakan saat aku kembali ke Timur, dimana senyum tulus tanpa ada pamrih apa apa. seru tulisan nya

    • Reply
      folkandtravel.com
      September 2, 2017 at 1:48 AM

      Timur, Nusantara yang sebenar – benarnya berada hehehe. Terimakasih bro Sinyo

  • Reply
    ipong
    September 23, 2017 at 9:26 AM

    Saya pernah berjalan jalan ke daerah timur indonesia dan menukan indonesia yang berbeda di sana

    • Reply
      folkandtravel.com
      September 25, 2017 at 5:58 PM

      Indonesia yang masih Indonesia ya mas Ipong? Yap, setuju sekali.

Leave a Reply

error: Maaf, Konten Dilindungi

Pin It on Pinterest