Sedikit tentang kerinduan, rasanya sudah terlalu lama meninggalkan Pulau Jawa dan tidak lagi sebebas merpati untuk dapat menginjakkan kaki di Jogja.
Setelah perpisahan di Jl. Jendral Sudirman Kotabaru beberapa tahun lalu, sepertinya Jogja menyamar menjadi sosok tua hingga berwajah keriput dengan tembok – tembok putih yang kian menghitam oleh kenangan. Gudeg pun sepertinya tidak lagi menawarkan rasa manis seperti dulu.
Tapi rasa rinduku untuk mengukir cerita baru tidak hanya sampai di situ. Jogja adalah Jogja, yang tetap setia dan bangga dengan budaya lama yang terus ada.
Rasa telah menuntunku untuk pulang, kepada Jogja yang selalu berputar di kepala. 3 Januari siang itu tanpa persiapan matang aku bertekad memesan tiket pesawat yang hendak terbang dari Denpasar menuju Jogja tepat jam 07:00 WITA. Pikiranku terus berputar setelah pemesanan tiket itu, detak jantung terasa seperti telah mengkonsumsi seribu cangkir kopi, entah akan jadi seperti apa ceritaku di Jogja nanti. Trauma tentang masalalu masih saja mengusik ketenanganku hingga petang berlalu berganti menjadi pagi. Mungkin mata tak lagi sekuat kekhawatiranku hingga pulas akhirnya aku tertidur. Bangun dengan rasa yang masih sama, waktu menunjukkan 06:30 WITA. Segeralah bergegas menuju Bandara Internasional Ngurah Rai Denpasar. Dan memang benar, pesawat 10 menit terbang lebih awal dari kedatanganku di airport.
Sekali lagi aku memesan tiket penerbangan dan hanya ada jadwal penerbangan di malam hari; 19:30 WITA waktu itu. Sehari penuh menghabiskan waktu di warung kopi yang beberapa orang bilang adalah buatan kaum Yahudi ternyata mampu sedikit meredakan kekhawartiranku tentang Jogja. Beruntung sudah ada sahabat yang sabar menunggui di Bandara Internasional Adi Sucipto Yogyakarta, Elizabeth Chandra Kusuma namanya. Mungkin juga karena lebih bersabar demi sekotak pie susu yang ia pesan lebih dari setahun lalu hahaha.
Baca Juga: Mencumbu Fajar Punthuk Setumbu
Ingatanku tentang Jogja sedikit banyak juga berbicara tentang warung burjo yang selalu siap sedia melayani anak – anak kost yang hendak menyelesaikan studinya di Jogja. Oleh karenanya setibanya di Jogja, Eliz membawaku ke warung burjo yang sangat ia banggakan di daerah Seturan. Masih sama, nasi telor menjadi pilihan pertamaku, dengan es coffeemix yang sangat sulit aku temui di Bali.
Ingin rasanya melanjutkan perjalanan untuk sekedar menikmati Sate Klatak yang terkenal itu, tetapi sepinya jalanan Kota Jogja kini telah memberikan support yang teramat besar terhadap lelahku yang membawaku kembali ke hotel untuk beristirahat.
Tentang akan kemana kita besok aku telah menyerahkan semua kepada Eliz, mengingat instagram feeds nya yang dipenuhi dengan perjalanan yang menarik.
Eliz mengarahkanku ke sebuah desa bernama Dlingo di Kabupaten Bantul. Sedikit banyak ia bercerita tentang Kebun Buah Mangunan. Beberapa teman juga pernah bercerita tentang bukit yang berada di atas awan ini. Sengaja ku dibuat penasaran, namun lelahku telah berhasil membuatku tertunda untuk menikmati suasana di atas awan. Karena memang benar, pemandangan seperti itu hanya dapat di temui menjelang matahari terbit dan aku terbangun saat matahari berada tepat 45’ di atasku.
Sempat sedikit bertanya – tanya setibanya di Mangunan. Yang katanya kebun buah, tapi satupun tidak aku temui buah, hanya pepohonan saja, bahkan beberapa dari mereka telah kering dan mati. Seorang penjaga sempat menjadi narasumberku, kutanyai dimana buahnya, dengan candaan khas Jogjanya beliau menjawab: “Dereng uwoh mas, uwite mawon nembe ditandur” (Belum berbuah mas, pohonnya saja baru ditanam).
Ah tak apalah, pikirku. Aku melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki lagi menaiki bukit, hanya berkisar 10 – 15 menit dari tempat parkir aku mendapati pemandangan yang indah. Dimana aku bisa menyaksikan sungai Oya yang berwarna kecokelatan mengalir dari kejauhan dengan dinding sungai yang berwarna hijau tua, yaitu pepohonan yang membentuk menjadi bukit.
Sederhana memang, tetapi pemandangan indah seperti ini tidak akan pernah menjadi menarik tanpa adanya masyarakat yang sadar wisata. Masyarakat Dlingo begitu kreatif, hingga mampu menyulap yang biasa saja menjadi daya tarik wisatawan yang bahkan kini sangat terkenal di media sosial.
4 Comments
Elizabeth Chandra Kusuma
Juni 7, 2017 at 11:48 AMTerimakasih untuk ceritanya 🙂
godblessgilang
Juni 7, 2017 at 4:16 PMPodho podho nik, pie susu e wes abis? Hahaha
Haris Heriyanto
Juni 7, 2017 at 1:17 PMTerima kasih atas kerja sama nya Folk and travel sudah membantu untuk pemesanan hotel group pada waktu di Bali kemarin. Sukses terus untuk Mr. Gilang Kayana. Next Kita Kontak Lagi !
godblessgilang
Juni 7, 2017 at 4:17 PMTerimakasih kembali Haris Bali Tour. Sukses buat trip – trip nya