Bali Explore Bali Folk Indonesia Folk Story Folk Travel

Di Gunung Batur, Jiwa dan Hati Bertafakur

Gunung Batur Kintamani

Di bukit Kintamani yang tinggi, bertahta megah sebuah keagungan bernama Gunung Batur. Menurut penuturan beberapa sahabat yang memang lebih dulu mendalami gunung – gunung di Bali, Gunung Batur ada lebih dulu daripada Gunung Agung. Oleh karena letusan Gunung Batur lah Gunung Agung terlahir. Mereka pun meyakini secara spiritual dan juga ilmiah, Gunung Batur merupakan ibu daripada Gunung Agung. Hingga keduanya berkelindan, laksana Tuhan dan Awatara.

Oleh kejamnya kehidupan di kota, aku dan beberapa sahabatku memulai perjalanan di saat bulan menyingsing dan berpendar. Di saat gemerlap hiburan malam mengarak kesombongannya ke pangkuan langit. Tentu tak dari kami semua memiliki alasan yang sama hingga perjalanan ke Gunung Batur ini di mulai. Tapi bagiku, perjalanan ini adalah tentang kemarahan yang berjelaga, kekecewaan, dan harapan alam akan memeluk mesra seperti ibu yang menenangkan.

Gunung Batur Kintamani

Baca Juga: Seruling Samudera Pantai Klayar

 

Pukul dua belas malam roda kendaraan kami berputar meninggalkan Kuta, kota dimana orang – orang sibuk merayakan kemabukan dan pesta. Sedikit lega rasanya setelah berhari – hari perasaan kebas oleh kekejaman itu. Lalu kami singgah sebentar di Abiansemal, sembari menjemput salah satu kawan perjalanan ini. Suguhan kopi dan gorengan cukup mengganjal perut kami yang memang sudah terlalu lama tak merasakan udara gunung.

Udara di Abiansemal malam itu belum terasa begitu dinginnya, hingga saat kami lanjutkan perjalanan menuju parkiran utama pendakian Gunung Batur. Jalanan nampak lengang, kami melewati beberapa desa yang tertidur dan mungkin bermimpi akan gemerlap kota. Tak hanya desa, hutan dan persawahan yang bersembunyi di balik tenangnya malam pun kami lewati. Semuanya terasa seperti laku neng – ning – nung – nang yang tak jarang kudengar saat aku masih sering menangis di pelukan ibuku. Jika kalian tau, perjalanan malam itu laksana resi yang bermeditasi.

Gunung Batur Kintamani

Baca Juga: Pantai Nyang Nyang Dan Sebuah Perubahan

 

Setiba di gerbang pendakian, kami panjatkan doa pada Ida Sang Hyang Widi Wasa atas keselamatan dan pelajaran perjalanan. Baiklah, aku tau tak semestinya aku meminta dan mengatur – atur Tuhanku. Doa hanyalah bentuk Cinta antara aku dan Yang Esa.

Langkah kaki mulai menapakkan jejaknya di atas pecahan bebatuan sisa erupsi Gunung Batur puluhan tahun yang lalu. Semua nampak kering, tak banyak lembar dedaunan kutemui malam itu. Beberapa dari kami berjalan begitu cepatnya, seakan tak bertemu fajar di puncak adalah aib yang memalukan. Sedang aku, sejak kumulai pendakian di tahun 2009 di gunung – gunung tinggi di Pulau Jawa, rasanya kini tak ada lagi ambisi untuk berlari kencang menuju puncak, atau sengaja melebarkan langkah kaki sekalipun. Aku hanya ingin lebih mesra menapaki setiap jengkal langkah, seraya sedang memijat ibu bumi yang mungkin sudah renta dan lelah.
Memang beginilah pendakian jika lebih dari satu dua orang, setiap dari kami memiliki persepsi dan tujuan masing – masing, dan ini bukanlah dosa. Ini sudah sewajarnya.
Kami memilih rute pendakian melalui Pura Pasar Agung, rute yang tak terlalu terjal jika dibandingkan dengan rute pendakian Gunung Batur melalui Culali.

Gunung Batur Kintamani

Baca Juga: Bersejenak Hening di Air Terjun Banyumala

 

Malam masih hening. Hanya derap langkah sepatu dan jangkrik yang bernyanyi. Kami pun tetap melangkah, meski beberapa dari kami terengah – engah. Satu yang selalu kuingat, gunung akan selalu menyuguhkan keindahannya untuk siapapun yang datang dengan khidmat.
Beberapa jam kami berjalan melalui medan berpasir, berbatu, hingga tanah yang licin, kami mendapati tenda – tenda berdiri di balik monumen puncak Gunung Batur. Terdengar nyanyian malam bersahutan dari tenda satu dan tenda yang lain, terdengar begitu merdu dan lucu. Sungguh suguhan alam yang sangat indah malam itu.

Gunung Batur Kintamani

Baca Juga: Menyatu Dengan Alam di Teluk Ijo

 

Kami terus dan terus melangkah hingga puncak yang tertinggi. Bukan ambisi, hanya saja malam masih memberi kami kesempatan untuk mendapat tempat terbaik dalam ritual penyambutan sang fajar.

Dan benar saja, hanya berselang tiga puluh menit sejak pantat merapat pada tanah yang basah, fajar terlihat malu – malu terbit dari balik bukit. Ia terlihat memerah, entah karena malu atau memang jenaka. Hangatnya meremukkan hening yang beku, melemaskan sistem kerja saraf hingga terbentuk senyum yang tak malu – malu. Beberapa dari kami bersorak ria, beberapa dari kami juga memanjatkan puja. Tak ada amarah di Gunung Batur, hanya bahagia dan jiwa yang akur.

Gunung Batur Kintamani

Baca Juga: Merayakan Persahabatan di Curug Pulosari

 

Setelah beberapa jam menghabiskan waktu berhening, berswafoto dan bercanda dengan tawa yang telah tersucikan oleh indahnya subuh yang memudar, kami bersama memutuskan untuk pulang. Kini dengan begitu jelas kulihat alam yang sebenarnya, alam yang tercerahkan oleh sang fajar.
Pepohonan yang hijau dan rindang meneduhkan setiap jengkal langkah yang enggan untuk pulang. Hingga di penghujung perjalanan kami temui pemandangan kaldera yang menakjubkan.
Tak henti syukur kupanjatkan, tak henti puja kusematkan. Dan di saat yang sama, aku tau Tuhan sedang tersenyum dan mendekap.

You Might Also Like

6 Comments

  • Reply
    Tenny
    Agustus 10, 2020 at 8:19 PM

    Jiwa dan hatiku pun bertafakur untuk membuahkan tulisan, seindah tulisan ini.

    • Reply
      Gilang Khrisna
      Agustus 11, 2020 at 1:07 AM

      Perlu belajar ke tuan takur buat bertafakur hahaha

  • Reply
    Yokhanan
    Agustus 13, 2020 at 12:44 PM

    Akhirnya… Mas Gilang nulis lagi, senangnya 😀

    Aku ikut tafakur dan melemaskan syaraf yang beku ya, mas.

    • Reply
      Gilang Khrisna
      Agustus 13, 2020 at 12:45 PM

      Hehehe ga terasa udah 2 tahun mas Yo. Apa kabar? Semoga senantiasa sehat dan diberkati selalu 🙏🏻

      • Reply
        Yokhanan
        Agustus 14, 2020 at 10:45 AM

        Kabarnya baik, mas. Masih setia di ibukota yang sekarang berubah menjadi zona merah Corona 😀

  • Reply
    G
    Juni 12, 2021 at 8:08 AM

    Lama nggak nulis mas. Senang rasanya baca tulisanmu lagi. Jangan berhenti menulisnya. Sehat selalu. Bahagia selalu. Terimakasih banyak.

Tinggalkan Balasan ke Gilang Khrisna Cancel Reply

error: Maaf, Konten Dilindungi

Pin It on Pinterest